Pena Nusantara | Mempawah, Kalbar - Ada yang ditangkap jaksa, digelandang KPK, dicaci, dipuji, dan ada yang didemo. Begitulah pemimpin di era demokrasi. Bupati Mempawah, Erlina kena bagian didemo. Sudah empat kali didemo mahasiswa dan warga. Namun, proyek senilai 22 miliar yang turun jadi 15 miliar, tetap jalan, tak ada pembatalan. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Aksi di Mempawah pada 9 Desember 2025 itu bukan lagi demonstrasi biasa. Ia menyerupai arak-arakan sejarah yang tiba-tiba bangkit dari Makam Opu Daeng Manambon dan berjalan menuju kantor bupati, seolah para leluhur ikut memeriksa, “Anak cucu kami, apa betul kalian membangun rumah dinas Rp 22 miliar di saat rakyat masih ngeluh banyak jalan dan jembatan rusak ?” Massa Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Bersatu melangkah dengan khidmat, seperti rombongan ziarah yang tersesat tapi tetap percaya, nurani harus dihidupkan kembali meski lewat cara paling absurd, membawa keranda mayat.
Keranda itu diangkat tinggi-tinggi, membuat halaman kantor bupati berubah menjadi semacam Ritual Rindu Alam. Bedanya yang dirindukan bukan pemandangan, tapi pemerintahan yang waras. Keranda itu seperti ikon baru Kabupaten Mempawah, menggantikan tugu-tugu megah dan replika naga budaya yang selama ini berdiri di tengah kota. Kalau biasanya simbol kematian itu menghantar jenazah menuju liang kubur, hari itu ia justru menghantar pesan, “Keadilan sudah wafat dan kami datang untuk menuntut otopsi anggaran.”
Sementara itu, mahasiswa mendesah lantang dari bawah payung panas yang seperti ingin menyaingi panasnya hati rakyat. Orasi mereka menggema seperti tabuh Beduk Mempawah saat Maulid Adat, hanya saja kali ini yang diketuk bukan beduk, tetapi kesadaran pemerintah. Mereka menuntut transparansi anggaran, menolak pembangunan rumah dinas, atau pendopo rakyat, atau apapun namanya yang nilainya antara Rp 22 miliar dan Rp 15 miliar, bergantung siapa yang sedang diwawancara dan apakah ia sedang ingat atau lupa angka.
Saat massa sudah mencapai puncak tensi, keluarlah Bupati Erlina. Di sinilah Mempawah berubah total menjadi panggung teater yang bahkan Festival Mempawah Mangrove pun tak bakal sanggup menyamai dramanya. Sang bupati, dalam tekanan massa, terekam menjulurkan lidah. Gestur itu beredar seperti angin sore di Taman Cinta, cepat, liar, dan meninggalkan tanda tanya, itu sinyal apa? Error sistem? Refleks? Atau pesan politik tingkat tinggi yang belum ada ilmuwan yang mampu menerjemahkannya?
Netizen bereaksi lebih cepat dari ombak Kuala Mempawah. Ada yang marah, ada yang tertawa, ada pula yang membayangkan betapa lucunya ini jika dijadikan mural di dinding Keraton Amantubillah, seorang pemimpin berhadapan dengan rakyat sambil menjulurkan lidah. Dinding keraton mungkin segera retak kalau mural itu benar terpasang.
Dialog berlangsung tegang tapi akhirnya Bupati Erlina menandatangani tuntutan massa. Massa bersorak, tapi tidak sampai larut. Karena semua orang di Mempawah tahu, tanda tangan bukan jaminan, apalagi dalam politik lokal yang sering lebih absurd dari legenda Naga Giri yang hidup dalam cerita rakyat. Dugaan itu benar, sebab pemerintah kemudian mengklarifikasi dengan suara selembut angin Bukit Peniti, “Yang dibangun itu Pendopo Bupati Rp 15 miliar, bukan rumah dinas pribadi Rp 22 miliar.” Narasi berubah secepat warna langit di Pantai Kijing saat matahari turun.
Walaupun tuntutan ditandatangani, proyek tetap lanjut. Yang berubah hanya namanya, bukan bangunannya. Tapi rakyat Mempawah tidak bodoh. Mereka tahu ketika sebuah pendopo dibangun di dalam kompleks rumah jabatan, itu ibarat memasang plang “ruang publik” di dalam kamar tidur pribadi, tidak masuk akal walau diberi daun kelapa sebagai dekorasi.
Drama ini akhirnya membuat pendemo tampil sebagai pihak yang paling jernih pikirannya. Mereka membawa keranda bukan untuk menakuti, tapi untuk menyadarkan. Di hari itu, di bawah bayang-bayang ikon-ikon Mempawah, dari Keraton sampai Rindu Alam, dari Makam Tua sampai Pantai Kijing, satu kesimpulan menggaung, yang masih hidup hanyalah keberanian rakyat. Yang mati adalah logika anggaran.
Awan gelap turun perlahan
Suara mahasiswa makin menggema
Ibu itu tetap bertahan
Meski terhimpit ribuan suara
Langkah kecil tetap tegar
Bendera kampus berkibar tinggi
Ibu berdiri tanpa gentar
Di tengah orasi tinggi tensi
Riuh massa semakin padat
Langit Mempawah terasa berat
Ibu menatap dengan hangat
Hati para mahasiswa terpikat
Angin sore membawa debu
Demo kampus makin memanas
Ibu tersenyum tetap syahdu
Meski dikepung semangat ganas.
Sumber : Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Syaiful/Red

0 Komentar