Pena Nusantara | Editorial - Penghapusan artikel Retno Mandasari di situs resmi Radio Republik Indonesia (RRI) tentang Zaporozhye—wilayah yang baru saja diintegrasikan Rusia—barangkali tampak sepele bagi mereka yang terbiasa menjadikan berita sebagai komoditas politik. Tapi bagi yang masih percaya bahwa jurnalisme adalah perkara nurani, ini adalah sinyal darurat: media publik telah kehilangan haknya untuk bicara dengan jujur.
Retno bukan sembarang wartawan. Ia pergi ke sana dengan undangan resmi, bergabung bersama jurnalis dari berbagai negara, menyaksikan langsung denyut kehidupan di wilayah yang selama ini hanya dikenal lewat narasi tunggal media Barat. Ia menulis. Ia menyampaikan. Tapi tulisan itu tiba-tiba hilang dari ruang publik. Tanpa klarifikasi. Tanpa pertanggungjawaban.
Kita hidup di zaman di mana sensor tak lagi berwujud gunting merah. Cukup satu telepon dari kedutaan, satu rapat di belakang pintu, satu desakan halus atas nama diplomasi—dan sebuah karya jurnalistik bisa lenyap begitu saja. Ini bukan hanya tragedi bagi RRI. Ini tragedi bagi kita semua yang masih percaya bahwa demokrasi membutuhkan suara yang beragam, termasuk suara yang mungkin tidak nyaman.
Apakah media publik sekarang hanya perpanjangan tangan kebijakan luar negeri? Atau lebih tepat: apakah kita masih punya media publik?
Ketika tokoh masyarakat sipil mengangkat suara, ketika surat terbuka dari Duta Besar Rusia masuk ke meja Dewan Pers, ketika opini masyarakat mulai mempertanyakan siapa yang mengatur narasi di media, seharusnya para pengelola RRI tidak cukup hanya dengan diam. Sebab diam, dalam konteks ini, adalah konfirmasi: bahwa tekanan memang ada, dan bahwa mereka tunduk.
Lebih dari itu, diam adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang melahirkan UU Pers dan jaminan konstitusional atas kebebasan informasi. Kita pernah mengusir rezim yang gemar mengatur pikiran rakyat lewat sensor berita. Kini, kita justru menyaksikan bentuk baru pembungkaman—lebih sunyi, lebih licin, dan karena itu lebih berbahaya.
Maka wajar bila muncul dugaan: jangan-jangan ini bukan hanya soal tekanan diplomatik, tetapi juga tentang transaksi. Tentang jurnalisme yang dijual untuk kepentingan politik, akses, atau relasi kuasa. Jika benar begitu, kita tidak sedang menyaksikan penyiaran publik, tapi panggung propaganda.
Kita perlu ingatkan: media yang baik bukanlah media yang menyenangkan semua pihak, tapi media yang setia pada fakta. RRI, sebagai lembaga penyiaran negara, seharusnya tidak menjadi pengekor narasi global yang disponsori kekuasaan. Ia harus punya sikap, dan keberanian untuk bertahan dalam badai opini.
Karena pada akhirnya, jurnalisme bukan tentang siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang berani mengatakan apa yang dilihat dan didengar—meski itu tak populer.
--mp--
1 Komentar
Sudah diterbitkan kembali
BalasHapushttps://www.rri.co.id/indepth/507/mengenal-oblast-zaporozhye-wilayah-baru-rusia-yang-mulai-berkembang