Header Ads Widget

Header Ads

Ticker

6/recent/ticker-posts

Catatan dari Pondok yang Belajar Gempa

Santri Ponpes Sumber Barokah Karawang belajar kesiapsiagaan bencana gempa hingga kebakaran


Mahar Prastowo
Penulis, Humas Senkom Pusat 2012-2019

PENA NUSANTARA | KARAWANG

Saya membayangkan: sebuah pagi yang tenang di Karawang. Pagi seperti pagi-pagi lain di desa. Di mana suara ayam bersahutan dengan lantunan ayat, dan dedaunan trembesi mengucap salam kepada embun yang masih tinggal.

Lalu sirine meraung.
Para santri keluar dari kelas, membawa tubuh mereka dengan cemas yang baru mereka pelajari. Bukan karena benar-benar terjadi bencana. Tapi karena mereka sedang belajar membacanya. Mengantisipasinya. Menyelamatkan diri — dan barangkali juga keyakinan — dari keruntuhan.

Bencana, seperti kematian, tak pernah datang dengan pemberitahuan.

Maka pada 11 Juni itu, di sebuah pondok pesantren bernama Sumber Barokah, manusia berikhtiar. Senkom SAR, BPBD Karawang, dan para guru yang tak hanya mengajar fiqih, berusaha mempertemukan pengetahuan tradisional dengan ilmu mitigasi modern. Sebuah perjumpaan antara rasa pasrah dan logika evakuasi.

Apa makna sebuah pelatihan kebencanaan di pesantren?

Pesantren — yang selama ini berdiri sebagai menara kesunyian — tiba-tiba disapa oleh realitas dunia yang goyah. Dunia yang gempa bisa menggulungnya. Dunia yang tidak hanya membutuhkan doa, tapi juga peta evakuasi, simulasi, dan cara memadamkan api.

Seorang santri, mungkin dalam hatinya bertanya: apakah ini bentuk baru dari jihad?

M. Syaiful, Deputi Senkom SAR, memberi satu jawaban yang sederhana dan gamblang: “Santri juga harus siap menghadapi darurat.” Tapi dalam kalimat itu, saya menangkap sesuatu yang lebih dalam: bahwa ilmu, seperti air, akan mencari tempatnya sendiri — termasuk ke lorong-lorong pesantren.

Karena pengetahuan, pada akhirnya, bukan tentang apa yang disampaikan. Tapi apa yang menyelamatkan.


Saya tidak hadir dalam kegiatan itu. Tapi saya pernah ke desa sekitarnya, beberapa tahun lalu. Sebagai Humas Senkom Pusat, saya datang membawa maksud yang sama: menyemai benih kesadaran tentang apa yang seringkali dilupakan — bahwa tanah bisa bergerak, dan hidup bisa berubah dalam satu detik.

Di desa itu, waktu seolah berjalan lambat. Tapi saya tahu, waktu tak pernah benar-benar diam. Ia menyimpan gempa, longsor, banjir, dalam kantong rahasia. Lalu, suatu saat, mengeluarkannya dengan tiba-tiba.

Di pesantren itu, saya rasa, mereka mulai mengerti makna kesiapsiagaan bukan sebagai bentuk ketakutan, tapi sebagai cinta. Cinta kepada sesama manusia. Cinta kepada kehidupan.


Ada hal yang tak bisa diajarkan oleh teks. Ia hanya bisa dipelajari melalui tubuh: berlari, menunduk, menyelamatkan, memadamkan api. Hal-hal yang tidak ditulis dalam kitab, tapi tumbuh dalam pengalaman yang dijalani.

Simulasi kebakaran, simulasi gempa — semua itu mungkin tampak seperti sandiwara. Tapi bukankah hidup ini juga semacam latihan?

Kita berlatih untuk menderita. Kita belajar menghadapi kehilangan. Kita mencatat petunjuk, walau tahu tidak semua bisa diselamatkan. Tapi kita tetap mencoba. Karena itulah manusia.

Saya melihat, lewat kabar dari Karawang itu, bahwa santri bukan hanya pelestari teks, tapi penjaga hidup. Bukan hanya murid dari ajaran lama, tapi pelopor zaman yang baru.


Bencana selalu mengandung kekerasan. Tapi di tengah kekerasan itu, kadang kita temukan yang paling lembut: keikhlasan, kerja sama, keberanian. Hal-hal yang tidak selalu bisa dirumuskan dalam kebijakan pemerintah.

Saya ingin percaya bahwa apa yang dilakukan oleh Senkom, oleh para pengasuh pondok, oleh BPBD, adalah sebuah upaya mempertemukan yang rasional dan yang spiritual. Antara takdir dan teknologi. Antara manusia yang percaya pada Tuhan dan manusia yang menyadari bahwa bumi terus bergerak — dengan atau tanpa restu.

Di sinilah letak puisi itu:
Bahwa pelatihan kebencanaan bukan sekadar agenda teknis. Ia adalah upaya manusia memahami dirinya sendiri di tengah semesta yang luas dan acuh. Dan bahwa santri, dalam kekhusyukannya, kini tak lagi hanya menunduk pada kitab — tapi juga mendongak, memperkirakan langit dan retakan tanah.

Gempa itu belum datang. Tapi ketika datang, mereka akan lebih siap.
Bukan karena mereka kuat. Tapi karena mereka telah belajar untuk tidak hanya percaya, tapi juga berbuat.

Dan mungkin, di situlah letak keselamatan.







Posting Komentar

0 Komentar