Header Ads Widget

Header Ads

Ticker

6/recent/ticker-posts

Talud, Tangan Kasar, dan Keteguhan Rakyat Dibal

Serda Waluyo. Babinsa Koramil 11/Ngemplak Kodim 0724/Boyolali turut dalam kerja bakti bersama warga. (Foto: Agus Kemplu)


Oleh: Mahar Prastowo

PENA NUSANTARA | BOYOLALIAda yang lebih dulu selesai sebelum proyek selesai: hubungan manusia.

Pagi itu, di hamparan sawah Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, suara cangkul tak kalah riuh dengan tawa yang bersahut-sahutan. Di ujung sana, seorang tentara berdiri membaur. Seragam lorengnya tak membuat warga segan, justru menjadi pelecut semangat di tengah terik matahari yang mulai memanggang tanah.

Namanya Serda Waluyo. Babinsa Koramil 11/Ngemplak Kodim 0724/Boyolali ini bukan sekadar hadir untuk memberi perintah. Ia mencangkul, mengangkat batu, menata karung, dan menjawab semua salam warga dengan senyum lebar. Hari itu, Senin, 12 Mei 2025, ia tidak sedang menjalankan operasi militer. Ia ikut membangun talud di jalan areal persawahan, bersama warga.

“Kalau cuma pakai alat berat, talud ini bisa jadi dalam dua hari. Tapi yang penting bukan secepat apa selesai. Yang penting, siapa yang ikut menyelesaikan,” katanya sembari menyeka keringat dari pelipis.

Kerja bakti—di banyak tempat sudah menjadi istilah formal yang nyaris kehilangan rohnya. Tapi di Dibal, kata itu masih hidup. Masih ada yang rela meninggalkan ladang untuk membangun talud. Masih ada yang percaya, urusan pertanian bukan cuma soal pupuk dan panen, tapi juga soal jalan agar hasil panen tak rusak di perjalanan.

Dan di tengah itu semua, TNI hadir bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan sebagai bagian dari rakyat yang sama-sama berkeringat dan berlumur lumpur.

Pak Eko, salah satu warga yang ikut kerja bakti, menyebut kehadiran Babinsa bukan hanya penting, tapi menginspirasi. “Kalau tentara saja turun tangan, masa kita cuma lihat?” katanya polos, tapi dalam.

Menurutnya, bukan hanya bahu yang bergesekan dalam kerja bakti ini. Tapi juga hati yang bersentuhan. TNI, katanya, bukan hanya datang dengan cangkul, tapi juga membawa motivasi—semacam suntikan semangat kolektif yang langka di era sekarang.

Karya bhakti ini memang sederhana. Hanya bangun talud. Hanya menahan tanah agar tidak longsor ke jalan. Tapi lebih dari itu, kegiatan ini menahan satu hal yang lebih besar: keretakan antara rakyat dan aparatur negara.

Serda Waluyo tidak bicara banyak. Tapi gerak-geriknya cukup menjelaskan filosofi TNI Manunggal dengan Rakyat. Ia datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai keluarga yang kembali ke rumah.

“Talud ini akan selesai dalam beberapa hari. Tapi semangat gotong royong semoga tidak cepat selesai,” ujarnya, sebelum kembali ke barisan batu.

Saya jadi ingat satu hal: di kota besar, talud dibangun dengan kontraktor dan pengawasan CCTV. Di desa ini, dibangun dengan tangan kasar dan kepercayaan. Dan mungkin itu yang membuatnya lebih kokoh—bukan hanya menahan tanah, tapi juga menahan kita agar tak jatuh dari nilai-nilai kebersamaan.

Ngemplak, Boyolali – Mei 2025

Posting Komentar

0 Komentar