Header Ads Widget

Header Ads

Ticker

6/recent/ticker-posts

Gula Impor dan Janji yang Berubah


Pemerintah semula berkomitmen tidak akan mengimpor gula. Janji itu disampaikan berkali-kali: kita mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Petani tebu senang, pabrik gula nasional percaya diri.

Tapi kini, pemerintah memutuskan impor. Gula mentah dalam jumlah besar segera masuk. Alasannya: cadangan gula nasional harus ditingkatkan.

Ada apa di balik keputusan ini?

Janji Manis yang Berubah

Awalnya, pemerintah yakin produksi gula dalam negeri cukup untuk kebutuhan konsumsi. Target swasembada pun terus didengungkan. Petani diminta semangat menanam, pabrik gula diminta efisien menggiling.

Namun, realitas berkata lain. Produksi gula nasional belum cukup. Banyak kebun tebu yang produktivitasnya menurun. Pabrik gula banyak yang tua, teknologinya ketinggalan zaman. Efisiensi? Jauh dari ideal.

Di atas kertas, produksi gula nasional tahun ini diperkirakan sekitar 2,4 juta ton. Sementara kebutuhan konsumsi nasional hampir 3,2 juta ton. Artinya, ada defisit sekitar 800 ribu ton.

Belum lagi, stok cadangan gula pemerintah hanya 26 ribu ton. Sangat jauh dari aman.

Pemerintah panik.

Lalu, keputusan pun berubah: impor.

Siapa Untung, Siapa Buntung?

Kebijakan ini tentu memicu reaksi beragam. Importir gula senang. Pasokan bertambah, bisnis lancar. Industri makanan dan minuman yang sangat bergantung pada gula juga lebih tenang. Harga bisa lebih stabil.

Tapi bagaimana dengan petani tebu?

Mereka kecewa. Harga tebu di tingkat petani bisa tertekan. Apalagi jika gula impor masuk dalam jumlah besar dan lebih murah. Petani khawatir, mereka yang tadinya didorong untuk menanam, kini malah bisa gulung tikar.

Pabrik gula nasional?

Sebagian bisa terbantu dengan pasokan bahan baku yang lebih banyak. Tapi pabrik-pabrik berbasis gula petani bisa merugi jika harga jatuh.

Konsumen?

Dalam jangka pendek, harga gula bisa lebih stabil. Tapi dalam jangka panjang, jika produksi lokal terus melemah, kita akan semakin bergantung pada impor. Itu yang berbahaya.

Keputusan impor ini menandakan satu hal: swasembada gula masih jauh dari harapan.

Ada banyak yang harus dibenahi. Produktivitas tebu nasional perlu ditingkatkan. Pabrik gula harus diperbarui. Rantai distribusi harus lebih efisien.

Jika tidak, tahun depan bisa terjadi lagi: janji tidak impor, lalu akhirnya impor juga.

Pertanyaannya: kapan kita benar-benar bisa mandiri?


Posting Komentar

0 Komentar