Hari Buruh 2025 di Monas Berlangsung Damai dan Penuh Pesan Politik
Oleh: Mahar Prastowo
Pena Nusantara | Saya tidak menyangka akan menulis ini. Biasanya, setiap tanggal 1 Mei, saya bersiap dengan kalimat: “kericuhan mewarnai Hari Buruh.” Tapi tahun ini berbeda. Di silang Monas, tempat yang sudah berpuluh kali menjadi lautan demonstran, suasananya mendadak seperti pesta. Bukan karena orasinya lembek. Tapi karena negara—untuk pertama kalinya dalam sejarah Hari Buruh di Indonesia—benar-benar hadir. Secara fisik, dan secara psikologis.
Prabowo datang. Ya, Presiden Republik Indonesia datang. Sendiri. Maksud saya, tidak membiarkan perwakilan Menteri yang datang membacakan sambutan dan lalu pulang sebelum nasi kotak dibuka. Prabowo berdiri di podium, menatap ribuan buruh, dan bicara tanpa naskah. Lugas. Kadang emosional. Kadang filosofis.
“Kita ini keluarga besar. Buruh dan pemerintah tidak boleh jadi lawan. Kita harus saling menjaga,” katanya.
Dan yang menarik, saat kalimat itu meluncur, saya melihat seorang aparat di sisi barikade tersenyum. Bukan senyum sinis, tapi senyum lega. Ia tahu: hari itu mereka tidak perlu bersiap-siap menyemprotkan gas air mata.
Yang tak banyak orang tahu: di balik suksesnya peringatan Hari Buruh 2025 ini, ada seorang jenderal bintang dua yang bekerja dalam diam. Ia bukan yang paling banyak bicara di media. Tapi di ruang koordinasi, suaranya didengar: Irjen Pol Drs. Agus Suryonugroho, Kepala Korps Lalu Lintas Polri.
Sejak sebulan lalu, ia sudah menyiapkan semuanya: rute bus buruh dari Bekasi, pengamanan berlapis dari Cileungsi sampai Cawang, dan titik pengalihan lalu lintas di Medan Merdeka. Satu hal yang ia tekankan sejak awal: jangan sampai ada satu pun buruh yang kehilangan haknya menyampaikan pendapat hanya karena macet atau takut aparat.
“Semua dipastikan ada pengawalan. Korlantas mempertebal pengamanan, bukan mempersempit ruang,” katanya waktu itu.
Agus bukan tentara di garis depan. Tapi di panggung logistik dan koordinasi, ia jagonya. Pengamanan teknis dibagi dalam kompartemen kecil. Bukan hanya untuk efisiensi, tapi agar setiap personel tahu: siapa yang harus dijaga, siapa yang perlu diberi jalan, dan siapa yang cukup diimbau dengan senyum.
Tahun ini, tak ada letupan di patung kuda. Tak ada lari-larian di depan Gedung Indosat. Bahkan warung kopi di sekitar Monas buka seperti biasa. Ini bukan karena buruhnya takut. Tapi karena pengaturannya presisi.
“Tidak ada bentrokan karena kita percaya satu sama lain. Polisi percaya buruh tidak anarkis. Buruh percaya polisi tidak represif,” kata seorang anggota KSPI saat saya temui di depan Tugu Tani.
Sore hari, langit Jakarta masih cerah. Bendera-bendera serikat pekerja masih berkibar. Di baliknya, ada kelegaan dari banyak pihak. Ini bukan sekadar soal keamanan. Tapi juga soal pesan.
Pesan bahwa negara bukan hanya hadir dalam bentuk UU. Tapi juga dalam peluh dan suara. Dan ketika negara mendengar, buruh tak lagi berteriak. Mereka bicara.
Dan ketika presiden datang, gas air mata tak datang.
---
Catatan Penulis:
Kadang, perubahan tidak datang dari revisi regulasi. Tapi dari perubahan cara melihat. Hari Buruh 2025 adalah cermin bahwa Indonesia bisa dewasa dalam demokrasi, tanpa harus menakutkan dalam kekuasaan.
0 Komentar